5 April , 2007
Namun kenyataannya, justru sebaliknya. Dalam beberapa kasus penerapan HaKI justru menghambat peningkatan kualitas SDM. Ancaman pidana bagi mereka yang melakukan pembajakan di satu sisi dapat dianggap sebagai upaya perlindungan hak. Namun di sisi lain, perlindungan HaKI justru menutup salah satu kesempatan orang untuk belajar, yaitu melalui proses imitasi. Tulisan ini bermaksud mengurai persoalan pengembangan sumber daya manusia dari sisi penerapan HaKI
Pendahuluan
Bulan Juli tahun 2003, pemerintah melalui Direktorat Jendral Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) mensosialisasikan Undang-undang no 19 Tahun 2002 tentang HaKI. UU No 19/2002 tentang HaKI ini sebenarnya merupakan amandemen dari beberapa undang-undang sebelumnya . Bermula dari UU No 7/1994 tentang Hak Cipta yang diratifikasi menjadi UU No 18/1997. Undang-undang yang terakhir ini lebih ditujukan kepada para pemakai komputer (end user). Pada undang-undang yang baru ini, unsur pidana akan dikenakan kepada pemakai barang ciptaan orang lain secara tidak sah. Para pemakai peranti lunak bajakan secara bisnis bisa disebut sebagai pelanggar berat HaKI, bahkan sampai tingkat Warnet.
Bulan April 2005, sejumlah warnet di Indonesia mulai merasakan pemberlakuan UU HAKI ini. Aparat kepolisian mulai melakukan razia pada warnet yang diketahui menggunakan software bajakan pada komputer. Beberapa bulan sebelumnya, kalangan pengusaha komputer, khususnya software kelabakan akibat razia yang dilakukan oleh aparat kepolisian bekerja sama dengan Aliansi pengusaha software (BSA). Pemberlakuan Undang-undang ini tidak memberikan pilihan bagi siapapun. Bagi pengusaha warnet, pada saat sebuah warnet diketahui mengggunakan software bajakan, maka ia harus menggantinya dengan yang asli atau jika tidak punya biaya, menutup usaha tersebut.
Persoalan pembajakan di Indonesia adalah sebuah persoalan yang serius. Angka pembajakan software di Indonesia menempati posisi ke empat setelah Ukraina (no 3), Vietnam (no 2) dan China (no 1). Sementara pembajakan karya cipta yang lain, juga terus berlangsung. Aksi pembajakan dari tahun ke tahun cenderung mengalami kenaikan secara signifikan. Menurut Ketua Umum Karya Cipta Indonesia Rinto Harahap, total kerugian yang diderita industri hiburan akibat pembajakan CD dan kaset saja mencapai Rp 1,4 triliun setiap tahun . Menurut Rinto, sekitar 90 persen lebih produksi CD serta kaset yang beredar di Indonesia merupakan barang bajakan. Akibat yang ditimbulkan dari aksi tersebut tak hanya dialami oleh artis, produser dan perusahaan rekaman, tapi juga negara sangat dirugikan akibat tak adanya pemasukan dari pajak.
Tingginya tingkat pembajakan di Indonesia menyebabkan pemerintah Indonesia segera melakukan ratifikasi Konvensi Bern 7 Mei 1997. Ratifikasi Konvensi Bern ini dilanjutkan dengan notifikasi ke WIPO (World Intellectual Property Organization) pada tanggal 4 Juni 1997. Oleh karena itu sejak 5 September 1997, seluruh aturan dalam Konvensi Bern mengikat Indonesia.
Ditinjau dari kronologis pemberlakuan UU HaKI tersebut, tampak keseriusan pemerintah dalam upaya menegakkan HaKI. Namun pertanyaannya kemudian adalah: Apakah negara berkembang seperti Indonesia ini memerlukan perlindungan HaKI? Bagaimana kaitannya dengan pengembangan SDM? Paper ini mencoba membahas pertanyaan ini dengan sisi pemikiran yang agak berbeda dengan kebanyakan tulisan lainnya, yaitu dari sisi anti-intellectual property. Secara singkatnya perlindungan HaKI yang berlebihan kurang cocok untuk negara berkembang seperti Indonesia. Khususnya jika dikaitkan dengan pengembangan SDM.